PENGARUH KONSENTRASI KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL DAN LEVERAGE TERHADAP MANAJEMEN LABA (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di PT BEI)


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Secara umum perusahaan tidak terlepas dari pihak-pihak seperti manajer (agent), pemilik atau pemegang saham (principal), dan kreditor. Manajer memiliki tujuan pribadi yang bersaing dengan tujuan pemilik yaitu memaksimalkan kesejahteraan. Di mana hal ini dapat menimbulkan konflik kepentingan yang sering disebut dengan teori agen (Jensen and Meckling (1976) dalam Bringham dan Juel, 2001). Di lain pihak, juga terdapat konflik antara pemilik dengan kreditor. Kreditor memiliki klaim atas sebagian laba perusahaan untuk pembayaran bunga serta pokok utang. Namun, pemilik juga memiliki kendali (melalui manajer) atas keputusan yang mempengaruhi risiko dan laba perusahaan.
 Informasi tentang laba (earnings) mempunyai peran sangat penting bagi pihak yang berkepentingan terhadap suatu perusahaan seperti manajer (agent), pemilik (principal), dan kreditor. Pihak-pihak tersebut sering menggunakan laba sebagai dasar pengambilan keputusan seperti pengukur prestasi atau kinerja manajemen, dasar penentuan besarnya pengenaan pajak, dan pemberian kompensasi serta pembagian bonus kepada manajer.
1
Manajer diberi kekuasaan oleh pemilik perusahaan untuk membuat keputusan serta juga bertanggung jawab terhadap pelaporan dan pengungkapan informasi kinerja keuangan. Informasi kinerja keuangan itu tercermin dalam laporan keuangan yang dibuat pada akhir tahun. Laporan keuangan adalah suatu laporan yang menyediakan informasi sumber daya ekonomi, kewajiban, modal sendiri, pendapatan, dan arus dana (kas) serta prospek perusahaan di masa depan (Harahap, 2004).
Karena pentingnya peranan laporan keuangan ini bagi semua pihak, maka manajemen memiliki peluang untuk melakukan hal-hal yang dapat mengubah laporan keuangan, terutama laporan laba rugi. Hal ini terkait dengan probabilistik laba yang dapat mempengaruhi indikator kinerja perusahaan, seperti harga saham, pengumuman dividen, pembiayaan mengenai rencana perluasan usaha, prediksi laba atau tingkat profitabilitas di masa mendatang, arus kas di masa mendatang, ukuran perusahaan dan lain sebagainya.
Earnings atau laba merupakan komponen keuangan yang menjadi pusat perhatian sekaligus dasar pengambilan keputusan pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya digunakan untuk menilai kinerja perusahaan ataupun kinerja manajer, dasar ketentuan dividen dan bonus bagi para manajer (Weston (1996) dalam Saiful, 2004). Oleh sebab itulah manajer melakukan pengelolaan terhadap angka laba (earnings management) dengan rekayasa akrual, untuk mempengaruhi hasil akhir dari berbagai keputusan yang dilakukan dengan cara merubah angka-angka akrual untuk menjadikan laba lebih rendah atau lebih tinggi (Watts dan Zimmerman, 1986).
Menurut Scott (2003) manajemen laba  (earnings management) adalah pilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Di lain pihak, Standar Akuntansi Keuangan (SAK) tidak mengharuskan pihak manajemen dalam memilih kebijakan metode akuntansi tertentu dalam menyusun laporan keuangan. Sehingga hal ini memberikan keleluasaan kepada manajer untuk memilih metode akuntansi yang digunakan dalam mencatat dan mengungkapkan informasi keuangan yang dimilikinya selama tidak menyimpang dari aturan-aturan yang berlaku dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) sehingga praktik manajemen laba sangat rentan terjadi (Rahmawati, et al, 2006).
Menurut Wild dan Subramayam (2005) dalam Elfitri (2003) manajemen laba merupakan hasil akuntansi akrual yang paling bermasalah. Penggunaan penilaian dan estimasi dalam akuntansi akrual mengizinkan manajer untuk mengubah metode akuntansi, terutama pada angka laba. Dimana hal ini dapat memberikan keuntungan pribadi manajer itu sendiri sehingga mengurangi kualitas laporan keuangan.
Sampai saat ini manajemen laba merupakan area yang paling kontroversial dalam akuntansi keuangan. Pihak yang kontra terhadap manajemen laba seperti investor, berpendapat bahwa manajemen laba merupakan tindakan yang dapat mengurangi keandalan informasi laporan keuangan sehingga dapat menyesatkan dalam pengambilan keputusan (Setiawati dan Na’im, 2000). Di lain sisi, pihak yang pro terhadap manajemen laba seperti manajer, menganggap bahwa manajemen laba merupakan hal yang fleksibel untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian yang tidak terduga, seperti pemutusan hubungan kerja karena perusahaan tidak beroperasi lagi.
Sementara itu, Scott (2003) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang dan political costs (Opportunistic Earnings Management). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (Efficient Earnings Management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat. Pihak-pihak yang terlibat itu bisa dilihat dari struktur kepemilikan perusahaannya.
Struktur kepemilikan perusahaan dapat dibagi menjadi dua yaitu struktur kepemilikan institusional dan struktur kepemilikan manajerial (Saptantinah, 2005). Struktur kepemilikan institusional merupakan proporsi kepemilikan saham oleh institusi dalam hal ini, institusi pendiri perusahaan, bukan institusi pemegang saham yang diukur dengan persentase jumlah saham yang dimiliki oleh investor institusi intern. Sedangkan struktur kepemilikan manajerial adalah kepemilikan saham terbesar oleh manajemen perusahaan yang diukur dengan persentase jumlah saham yang dimiliki manajemen.
Sejak Berle and Means (1932) menginvestigasi struktur kepemilikan perusahaan publik,  masalah keagenan merupakan isu sentral dalam literatur keuangan. Dengan semakin besarnya perusahaan dan luasnya usaha, maka  pemilik tidak bisa mengelola sendiri perusahaannya secara langsung sehingga inilah yang memicu munculnya masalah keagenan. Dalam kaitannya dengan kepemilikan terdapat dua masalah keagenan, yaitu  masalah keagenan antara manajemen dan pemegang saham (Jensen and Meckling (1976) dalam Bringham dan Juel, 2001) dan masalah keagenan antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas (Shleifer and Vishny (1997) dalam Arifin, 2007). Masalah keagenan pertama terjadi apabila kepemilikan saham tersebar, sehingga pemegang saham secara individual tidak dapat mengendalikan manajemen. Akibatnya perusahaan bisa dijalankan sesuai keinginan manajemen itu sendiri. Masalah keagenan kedua terjadi jika terdapat pemegang saham mayoritas (konsentrasi kepemilikan), sehingga terdapat pemegang saham mayoritas yang dapat mengendalikan manajemen atau bahkan menjadi bagian dari manajemen itu sendiri. Akibatnya pemegang saham mayoritas memiliki kendali mutlak dibanding pemegang saham minoritas, sehingga pemegang saham mayoritas bisa melakukan tindakan yang menguntungkan dirinya, dan  berkemungkinan merugikan pemegang saham minoritas.
Konsentrasi kepemilikan bisa memicu terjadinya risiko ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas. Ekspropriasi merupakan cara memaksimumkan kesejahteraan sendiri dengan distribusi kekayaan dari pihak lain (Claessens et al., (2000b) dalam Tarjo, 2008). Ekspropriasi dapat dilakukan oleh pemegang saham mayoritas (konsentrasi kepemilikan institusional) melalui kebijakan perusahaan. Salah satu kebijakan tersebut adalah kebijakan manajer untuk melakukan manajemen laba.
Konsentrasi kepemilikan institusional merupakan  saham perusahaan yang dimiliki secara mayoritas oleh institusi atau lembaga (bank, perusahaan asuransi, perusahaan dana pensiun, perusahaan investasi dan yayasan). Menurut Tarjo (2008) pemegang saham mayoritas (konsentrasi kepemilikan institusional) menjadikan pemilik bisa bertindak sesuai kepentingan dirinya sendiri. Karena pemegang saham mayoritas bisa menjadi bagian dari jajaran manajemen atau paling tidak menunjuk manajer pilihannya, agar dapat mengambil keputusan yang hanya menguntungkan pemegang saham mayoritas (Sugiarto, 2009). Dengan posisi yang menguntungkan tersebut, pemegang saham mayoritas (konsentrasi kepemilikan institusional) dapat mengambil keputusan untuk melakukan manajemen laba.
Leverage adalah penggunaan asset dan sumber dana (sources of funds) oleh perusahaan yang memiliki beban tetap dengan maksud meningkatkan keuntungan potensial pemegang saham (Sartono, 2001). Perusahaan akan  menerapkan kebijakan hutang (leverage) agar keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada biaya aset dan sumber dananya, dengan demikian akan dapat meningkatkan keuntungan pemegang saham.
Perusahaan dengan rasio leverage yang lebih tinggi akan mengungkapkan lebih banyak informasi karena biaya keagenan perusahaan dengan struktur modal itu lebih tinggi (Jensen and Meckling (1993) dalam Sugiarto, 2009). Tambahan informasi diperlukan untuk menghilangkan keraguan pemegang obligasi terhadap terpenuhinya hak-hak mereka sebagai kreditur. Oleh karena itu perusahaan yang memiliki rasio leverage  yang tinggi mempunyai kewajiban untuk melakukan pengungkapan yang lebih luas daripada perusahaan dengan rasio leverage yang rendah. Hutang yang dipergunakan secara efektif dan efisien maka akan meningkatkan nilai perusahaan, tetapi apabila dilakukan dengan dalih untuk menarik perhatian para kreditur, maka justru memicu bagi manajer untuk melakukan manajemen laba (Achmad et al., 2007).
Scott (2003) menyatakan bahwa praktik perataan laba merupakan salah satu bentuk manajemen laba yang sering dilakukan oleh perusahaan ketika mereka menghadapi paksaan dari kreditor dengan cara mengubah metode akuntansinya. Sejalan dengan hipotesis debt covenant, yaitu perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi termotivasi untuk melakukan manajemen laba agar terhindar dari pelanggaran penjanjian utang.
Sedangkan menurut Brigham (2001) penggunaan hutang pada tingkat tertentu akan dapat mengurangkan biaya modal perusahaan karena biaya atas hutang merupakan pengurangan atas pajak perusahaan, dan dapat meningkatkan harga saham, dimana pada akhirnya hal ini akan menguntungkan manajemen, investor, kreditor dan perusahaan. Kebijakan hutang pada tingkat tertentu merupakan suatu praktik untuk memaksimalkan utiliti dan nilai pasar perusahaan, dimana hal ini juga merupakan bagian praktik manajemen laba.
Tindakan kecurangan laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba telah memunculkan beberapa skandal pelaporan akuntansi yang secara luas diketahui, antara lain Enron, Merck, Worldcom, dan mayoritas perusahaan lain di Amerika Serikat. Manajemen Enron melakukan penggelembungan (mark up) atas pendapatannya sebesar US$ 600 juta dan menyembunyikan utangnya sejumlah US$ 1,2 milyar. Sedangkan di Indonesia terdapat beberapa kasus yang terjadi, seperti pada PT Lippo Tbk dan PT Kimia Farma Tbk yang terbukti melakukan perataan laba pada laporan laba ruginya. Perataan laba termasuk dalam pengertian manajemen laba karena perataan laba dipandang sebagai cara pengurangan angka-angka laba selama periode tertentu atau dalam suatu periode, sehingga angka-angka laba tersebut mengarah pada tingkat yang diharapakan oleh manajer perusahaan.
Kasus lainnya yang terjadi dalam kurun waktu terakhir ini, yakni pada bulan Juli 2010, Otoritas Bursa menjatuhkan sanksi terberat berupa peringatan ketiga dan denda sebesar Rp 500 juta masing-masing kepada anak perusahaan Bakrie, yaitu PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (UNSP), PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG), PT Benakat Petroleum Energy Tbk (BIPI), dan PT Bakrie Brothers Tbk (BNBR). Sanksi tersebut dijatuhkan bursa terkait penyajian laporan keuangan triwulan I 2010 masing-masing emiten tersebut yang disampaikan pada bursa.  Perusahaan di atas melaporkan menyimpan dana di Bank Capital dengan nilai Rp 8,59 triliun. Namun dalam laporannya pada otoritas bursa, Bank Capital menyatakan hanya menerima penempatan dana dari ketiga perusahaan Bakrie itu sebesar Rp 2,69 triliun. Kasus kesalahan penyajian jelas sekali memperlihatkan kurangnya tanggung jawab manajemen dalam menginformasikan kinerja keuangan perusahaannya dan peristiwa ini juga mengindikasikan bahwa manajemen hanya mengutamakan kepentingan pemilik mayoritas perusahaan. Peristiwa ini dapat melunturkan kepercayaan para investor terhadap laporan keuangan para emiten tersebut, dan kesalahan penyajian itu juga dapat menyesatkan para investor dan pembaca laporan keuangan lainnya. 
Penelitian Tarjo (2008) yang menguji pengaruh konsentrasi kepemilikan institusional dan leverage terhadap manajemen laba, nilai pemegang saham serta cost of equity capital. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi kepemilikan institusional berpengaruh signifikan negatif terhadap manajemen laba.
Dalam penelitian Widyaningdyah (2001) yang berhasil menemukan pengaruh positif antara leverage dengan manajemen laba. Temuan tersebut sesuai dengan debt covenant hypothesis yang menyatakan bahwa jika semua hal yang lain tetap sama dan semakin dekat perusahaan dengan pelanggaran perjanjian hutang yang berbasis akuntansi, maka lebih mungkin manajer perusahaan untuk memilih prosedur akuntansi yang memindahkan laba yang dilaporkan dari periode mendatang ke  periode sekarang.
Alasan penulis mengambil perusahaan manufaktur sebagai sampel penelitian karena terdapat masalah yang terjadi pada beberapa perusahaan manufaktur seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, selain itu juga perusahaan manufaktur cukup sensitif terhadap setiap kejadian (Gantyowati, 1998).
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul, yaitu “Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan Institusional dan Leverage Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di PT Bursa Efek Indonesia (BEI)”.

B.       Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan dalam penelitian ini antara lain:
1.      Sejauhmana pengaruh struktur kepemilikan terhadap manajemen laba?
2.      Sejauhmana pengaruh kepemilikan manajerial terhadap manajemen laba?
3.      Sejauhmana konsentrasi kepemilikan institusional berpengaruh terhadap manajemen laba?
4.      Sejauhmana leverage berpengaruh terhadap manajemen?

C.      Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi permasalahan penelitian pada pengaruh konsentrasi kepemilikan institusional dan leverage terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di PT Bursa Efek Indonesia (BEI).

D.      Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah, maka masalah yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.        Sejauhmana konsentrasi kepemilikan institusional berpengaruh terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di PT Bursa Efek Indonesia (BEI)?
2.        Sejauhmana leverage berpengaruh terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di PT Bursa Efek Indonesia (BEI)?

E.       Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris mengenai :
1.         Pengaruh konsentrasi kepemilikan institusional terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di PT Bursa Efek Indonesia (BEI).
2.         Pengaruh leverage terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di PT Bursa Efek Indonesia (BEI).

F.       Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat:
1.        Bagi penulis, dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai pengaruh konsentrasi kepemilikan institusional dan leverage terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di PT Bursa Efek Indonesia (BEI).
2.        Bagi mahasiswa akuntansi S1 dapat dijadikan acuan, pedoman, dan motivasi dalam melakukan penelitian selanjutnya.
3.        Bagi akademis, menjadi sebuah bukti empiris yang akan menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai pengaruh konsentrasi kepemilikan institusional dan leverage terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di PT Bursa Efek Indonesia (BEI).

4.        Bagi investor, dapat menjadi sumber informasi dalam pengambilan keputusan investasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memaksimalkan return dan meminimalkan risiko dalam portofolio

Virus Corona sudah menghilang?